Musim Haji 1438 Hijriyah baru saja usai. Namun selalu ada cerita menarik dari setiap penyelenggraan haji tiap tahunnya. Salah satunya adalah soal tambahan bonus selain living cost khusus untuk jamaah Haji asal Provinsi Aceh.
Ya, jika jemaah Haji Indonesia sebelum berangkat ke Arab Saudi menerima uang saku (living cost) sebesar Saudi Arabian Ryal (SAR) 1.500 atau sektar Rp 5,25 juta dari komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang telah dibayarkan, jamaah asal Aceh akan menerima tambahan uang sebesar SAR 1.200 (Rp 4,2 juta)
Tambahan tersebut berasal dari Badan Pengelola Waqaf Baitul Asyi di Kota Makkah, Arab Saudi. Dana wakaf itu hanya diberikan kepada jemaah haji asal Aceh, yang tahun ini memberangkatkan 4.357 orang ke Tanah Suci.
"Dua hari setelah jemaah kita tiba di Makkah, maka nazir waqaf Baitul Asyi langsung berikan uang 1.200 riyal Arab Saudi per orang," ucap Koordinator Humas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji PPIH Embarkasi Aceh Rusli di Banda Aceh, Minggu (20/8) lalu, seperti dikutip Antara.
Ketua PPIH Embarkasi Aceh Daud Pakeh menambahkan, pembagian dana wakaf berlangsung di Maktab 37 di wilayah Misfalah, Makkah, Sabtu (19/8), dan dihadiri Nazir Wakaf Baitul Asyi Prof Dr Abdurrahman Abdullah Asyi."Agar proses pembagian lancar, maka jemaah diharuskan menunjukkan kartu Baitul Asyi yang telah diberikan oleh panitia," tuturnya.
Kok bisa, ada tambahan khusus buat jamaah asal Aceh? Ternyata, keberuntungan buat jamaah asal Aceh tersebut erat kaitannya dengan sejarah ulama Aceh di tanah suci.
anabustami.blogspot.com
Adalah Habib Bugak Al-Asyi, yang bernama lengkap Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi. Ialah sosok darmawan yang telah mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan warga Aceh yang pergi berhaji atau menempuh pendidikan di tanah suci.
Habib Bugak asal Aceh yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al Fath (antara Marwah dan Mesjid Haram). Saat itu, masa Kerajaan Ustmaniah.
Namun, kemudian, pemerintah Arab Saudi pada masa Raja Malik Sa’ud bin Abdul Azis, melakukan pengembangan Masjidil Haram. Tanah wakaf Habib Bugak untuk masyarakat Aceh terkena proyek tersebut. Rumah Habib Bugak digusur dengan pemberian ganti rugi.
Badan pengelola tanah wakaf itu kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli dua lokasi lahan yakni di daerah Ajyad sekitar, 500 dan 700 meter dari Masjidil Haram. Kedua tanah ini kemudian menjadi aset wakaf.
Lahan pertama dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 350-an unit. Di lahan kedua dengan jarak 700 meter dari Haram, dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 1.000 unit.
Dari keuntungan lainnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun 2009 di kedua lahan ini dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi Aceh.
Hasil keuntungan pengelolaan hata wakaf inilah yang sejak tahun 2006 dibagikan ke jamaah haji asal Aceh. Pada tahun 2008, Pemerintah Aceh menerima Rp14,54 miliar dari Baitul Asyi sebagai uang pengganti sewa rumah bagi 3.635 jamaah haji asal Aceh. Per jamaah mendapat sekitar Rp4 juta-an.
Asal Muasal Wakaf
Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi.
Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar tahun 1800Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah.
Dalam ikrar wakaf disebutkan, “Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram,”
Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap diMekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmudbin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru.
Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anaknya bernama Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr. Abdul Lathif Baltho.
bustamizi.blogspot.com
Siapa sebenarnya Habib Bugak Al-Asyi? Banyak orang Indonesia, bahkan warga Aceh terutama generasi saat ini yang mungkin tak mengenal sosok ini. Apalagi, tak banyak pula literatur yang menuliskan soal Ulama keturunan langsung Nabi Muhammad Sahallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini.
Untuk mengetahu siapa sosok sebenarnya Habib Bugak Asyi. sejak tahun 2007, Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty, Direktur Nasional Red Crescent telah membentuk tim peneliti untuk mengungkap sejarah hidup dan perjuangan Habib Bugak. Di bulan Ramadan 1431 H lalu, ia juga sempat menemui langsung dengan Syekh Munir Abdul Ghani Ashi yang menjabat Direktur Pengelola (Nadzir) Wakaf Habib Bugak di Mekkah.
Menurut Hilmi, Habib Bugak hanya nama samaran yang digunakan oleh Pewakaf untuk menjaga keikhlasan hati dalam beribadah. Syekh Munir menyebutkan Habib adalah gelar untuk Sayyid atau keturunan Rasulullah yang umum digunakan di Mekkah pada masa itu, yakni sebelum berkuasanya Dinasti Ibnu Saud, penguasa Kerajaan Saudi sekarang.
Sementara Bugak Asyi adalah nama sebuah daerah di Kerajaan Aceh pada tahun 1800 M lalu, ketika wakaf diikrarkan. Sehingga adanya simpang siurnya sosok HabibAsyi ini, mulai ada oknum yang merekayasa berbagai cerita untuk keuntungan pribadi.
Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh. Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri atas huruf:ba, waw, jim dan a’in sebagaimana ditulis dalam ikrar wakaf, sementara dalam tulisan Arab-Melayu Aceh: ba, waw, kaf, alif dan hamzah sebagaimana tertulis dalam Sarakata Sultan Kerajaan Aceh.
Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah, kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800-an, atau tahun dibuatnya ikrar wakaf.
“Setelah penelitian, saya dan tim peneliti lebih cenderung memilih Bugak yang masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua, Kabupaten Bireuen,” kata Hilmi.
Dari sejarah, nama Bugak— jadi bagian Kecamatan Jangka—dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar, dan lainnya.
Menurut dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H lengkap dengan cop sikureng, disebutkan satu wilayah bernama Bugak menjadi wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Di antara kata Bugak disebutkan pula beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya. Sebagian nama-nama tersebut memang masih eksis sampai kini dan menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Peusangan, Kecamatan Jangka, dan Kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.
Keturunan di Bugak
Gelar Habib sejatinya hanya disematkan untuk ahlul bait (keturunan) Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali. Biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.
Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.
Menurut penelitian dan penelusuran, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi delapan generasi.
Menurut Urueng Tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun makamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjong dan dikuti oleh ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.
Hasil penelitian di sekitar Bugak dan wilayah yang berdekatan dengannya, tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Beliau adalah Tengku Chik atau Tengku Habib dan kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan lainnya.
Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.
Setelah mewakafkan hartanya, Habib Bugak Asyi menunjuk Nadzir pertama bernama Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi yang diketahui dari keturunan Ulama ternama Syeikh Abdullah al-Baid. Syeikh ini dan penerusnya Syeikh Abdurrahim bin Abdullah al-Baid Asyi dikenal sebagai Tgk. Chik Awe Geutah yang kompleks dayahnya masih terpelihara di Awe Geutah Peusangan, Bireuen.
Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak Asyi. Menurut catatan Rabithah Alawiyah Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah al-Baid adalah Ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan Habib Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, bertugas di Bandar Aceh Darussalam dan kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah Sultan Aceh Darussalam.
Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Aceh yang tersimpan rapi pada keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib Abdurrahman Al-Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak, sementara Syekh Abdullah al-Baid bermukim di Awe Geutah mendirikan dayah dan wafat di sana.
Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Bugak Asyi, setelah mewakafkan hartanya kemudian menunjuk Nadzir dari kalangan ulama yang sangat dekat hubungan dengannya, bahkan tinggal satu daerah yang berdekatan.
Menurut anak cucu Habib Abdurrahman Al-Habsyi, mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tgk. Chik Awe Geutah, bahkan memiliki hubungan kekerabatan karena tali perkawinan. Fakta ini secara jelas menunjukkan siapa sebenarnya Habib Bugak Asyi itu, yang tidak diragukan adalah seorang Habib yang berasal dari Bugak yang berdekatan dengan asal Nadzir di Awe Geutah Peusangan.
Aceh
Selain mewakafkah hartanya, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi atau Habib Bugak Asyi sejatinya juga salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi.
Ketegangan tak terlepas dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala.
Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.
Saat imperialisme kolonial barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.
Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah dalam surat bertahun 1224 H (1800 M)
Menurut Syekh Munir, kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau sekitar Rp 7,5 triliun. Aset yang ada berupa 2 buah hotel, Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.
Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Selain hotel, ada juga apartemen dan tanah kosong berjumlah lebih 10 unit.
Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh. Besarnya sekitar antara SR 1.100 sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp 13,5 milyar rupiah.
Nadzir Waqaf Habib Bugak juga sedianya akan membangun Kompleks Pemondokan Haji yang mampu menampung 5.000 jamaah yang berasal dari Aceh. Hasil wakaf juga digunakan untuk menyewakan beberapa bangunan lainnya untuk kepentingan masyarakat Aceh.
Menurut catatan, setelah kembali dari Mekkah, Habib Bugas Asyi bermukim dan dimakamkan di Pante Sidom, Kemukiman Bugak, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Terlepas dari catatan sejarah yang masih perlu disempurnakan, sosok Habib Bugak ini memang menjadi sesuatu yang dirindukan. Terbukti, sudah lebih dari 200 tahun ia wafat, sampai kini amalnya pun terus bermanfaat.